Rabu, 25 September 2013

Jika Kebiasaan Membunuh Sesama Sudah Mendarah-Daging

Frans W. Hebi
Pada dasarnya tidak ada agama menghalalkan membunuh sesama manusia. Baik agama-agama alami maupun agama modern. Misalnya agama Yahudi dan Kristen ada tertulis dalam Taurat (Perjanjian Lama), jangan membunuh.Dalam agama Hindu ada ahimsah, jangan membunuh atau menyakiti. Agama Marapu (agama alami) juga ada larangan membunuh. Mengapa demikian? Karena Tuhan telah menaruh 10 perintah di dalam hati tiap orang yang di dalamnya ada larangan membunuh.

Kenyataannya, sejak manusia diciptakan hingga saat ini dunia telah dicemarkan oleh peristiwa saling membunuh, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil. Bahkan dikatakan sejak manusia membumi, secara acak ditelusuri hanya 275 tahun yang bebas dari peperangan.

Sebagai gambaran betapa kejamnya perang kita bisa menyimak rekaman The World Book Encyclopedia tentang dua perang semesta. Perang Dunia I (1914-1918) menewaskan 37.000.000 tentara dan 5.000.000 orang sipil. Sedangkan Perang Dunia II (1939-1945) menewaskan 22.000.000 tentara dan orang sipil, sementara yang cacat dan luka-luka 34.000.000. Jika saja Perang Dunia III pecah, maka diperkirakan ¾ umat manusia (kini lebih dari 7 milyar) akan musnah. Karena dalam era teknologi canggih seperti sekarang manusia telah menguasai rudal balistik, rudal antarbenua, menguasai senjata kimia/biologi (senjata pemusnah massal) berupa antraks, botulisme, sampar dan cacar. Senjata biologi bisa disebarkan dengan rudal antarbenua sehinhha dalam sekejap manusia punah. Yang disebut ini adalah pemubuhan dalam skala besar.

Dalam skala kecil tidak terhitung berapa banyak perang suku, perang saudara, perang suksesi yang menewaskan jutaan manusia. Ada juga skala yang paling kecil (perorangan) yang membunuh ribuan bahkan jutaan sesama manusia. Sebut saja Kaiser Nero dari Roma yang paling kejam. Dia membunuh sesama sampai pedang-pedang tumpul. Timur Lenk dari Mongolia turunan Jengis Khan membuat pagar keliling istana dengan tengkorang manusia. Hitler pemimpin Nazi Jerman yang terkenal dengan GESTAPO membunuh 4.000.000 orang Yahudi belum terhitung suku-suku lain yang ada di Jerman waktu itu. Tidak heran hingga saat ini orang Yahudi dendam terhadap antek-antek Hitler yang masih hidup.

Dan berapakah korban akibat terorisme? April 1997 – April 1999 Kompas mencatat 7 kali ledakan bom dan 9 kali ancaman ledakan bom. Itu baru di Jakarta tidak terhitung kota-kota lain. Dan hingga saat ini ledakan bom masih berlanjut. Kita masih ingat peristiwa Legian Denpasar pada 12-10-2002 tidak lama sesudah ambruknya dua menara kembar World Trade Center di New York dan Pentagon di Washington DC yang menewaskan ribuan orang.

Kompas 14-3-2010 memuat berita bahwa Polri sudah menagkap 452 terorisme. Meskipun demikian hingga saat ini masih saja ada ancaman terorisme yang menjadi momok bangsa Indonesia yang mendambakan kerukunan dan kedamaian.

Bagaimana dengan Sumba? Sebelum Belanda menduduki Sumba (Kodi, SBD thn 1898), ada juga perang suku seperti halnya di Jawa dan di tempat lain di Indonesia. Belanda mengibarkan bendera perdamaian dan menghentikan perang suku. Tapi kmudian berbalik menjadi perlawanan suku Sumba terhadap Belanda.Ingat Perang Lambanapu di Sumba Timur dengan Umbu Rarameha pemimpinnya, Umbu Tagela Bani di Anakalang, di Waijewa dikenal Edapopo dan Lelu Atu. Sedangkan di Kodi pecah perang Wona Kaka melawan Belanda tahun 1911-1913. Wona Kaka bersama 66 kawan perjuangan dibuang ke Jawa, Sumatra dll tempat.

Ketika Jepang menduduki Sumba, hampir tidak ada lagi perang suku hingga Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945. Di Kodi, Hohawungu untuk pertama kali dalam era kemerdekaan terjadi pembunuhan di antara dua bersaudara pada tahun 1950. Ketika itu berita yang menggemparkan di Kodi. Tahun 1955 sekitar Oktober 3 bersaudara tewas dalam suatu perang tanding antara kampung Bondo Kodi dan kampung Keretana. Berita itu juga santer di Kodi. Tahun 1960-an    tepatnya zaman Gestapu mulailah peristiwa saling membunuh di Kodi dan berlanjut hingga saat ini. Karena terlalu sering terjadi pembunuhan akhirnya menjadi berita lumrah yang tidak menarik lagi.

Yang menjadi pokok masalah terjadinya pembunuhan di Sumba Barat pada umumnya masalah tanah, masalah anak wanita, masalah kedudukan dalam marga/kampung besar, masalah curi, dll.

Sebagai contoh:
Pos Kupang 25-10-2011 mellansir berita terbunuhnya Saingo Lede (40) dan Batangu Dega (30) dalam keadaan kritis. Kejadiannya di Waikabubak Sumba Barat. Pos Kuppang 13-11-2011 melansir perang tanding, lagi-lagi di Waikabubak. Perang tanding terjadi antara kubu Ama Dama dengan kubu Ama Wini. Dalam perang tanding Dedo Tagu Duala dari kubu Ama Dama tewas. Semuanya masalah tanah.

Masih di Pos Kupang dan Sumba Pos no.65 Desember 2011, di Kodi terjadi perang tanding gara-gara bawa lari anak perempuan menelan korban satu orang di pihak pembawa lari. Suluh Sumba edisi 8, Th I, 16-30 Maret 2013 menurunkan berita utama yang menewaskan 7 orang di kampung Wando Eru, Desa Lengga Lete, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya. Dan yang memrihatinkan justeru Kepala Desa Lengga Lete menjadi otak pembantaian sadis itu.

Semuanya ini menjadi sebuah litani pembunhan yang tidak berkesudahan entah sampai kapan. Tidak terhitung jumlah manusia yang dibunuh sesama sejak bumi dihuni. Padahal yang berhak mencabut nyawa manusia hanya Tuhan Sang Pencipta. Membunuh sesama berarti mendaulati Sang Pemberi Hidup. Kita diberi umur 70 taun, kalau panjang umur bisa 80 tahun, kata kitab suci. Mencabut nyawa sesama berarti menggagalkan rencana Sang Pemberi Hidup. Hidup manusia memang singkat. Makanya tidak ada gunanya hidup berpanas-panasan. Karena kalau mati, hanya kebaikanlah yang membuat seseorang tetap hidup di hati sesama.

Mungkin kita bertanya. Mengapa Sumba yang hanya berpenduduk kira-kira 500.000 senang membunuh. Seandainya tiap orang boleh memiliki senjjata api seperti di Amerika, maka habislah penduduk Sumba dalam acara baku tembak.

Tapi aneh. Di Sumba Timur jarang sekali terjadi pembunuhan. Saya tahu karena saya tinggal di Waingapu sejak tahun 1962. Saya punya hipotese sbb:
1.    Orang Sumba Barat mengkonsumsi daging (berdarah panas) secara berlebihan. Sebagai gambaran saya punya catatan tahun 1976. Berapa ekor kerbau (tidak terhitung babi) yang dipotong di tiap kampung besar (parona) dan tiap dusun di Kodi. Kampung Kaha memotong 119 ekor, Parona Baroro 33, Halekandangar 31, Dusun Rada Loko 25, Bukubani 40, Bondomaliti 40. Tahun 2000 yang lalu Ratengaro memotong 300 ekor kerbau.
Bisa dibayangkan tiap tahun selalu saja ada pesta dari sekitar 100 parona (kampung persekutuan) seluruh Kodi. Undangan hanya beberapa ratus orang. Daging-daging harus dibagi habis. Satu KK yang menerima 5 undangan misalnya, akan membawa daging puluhan kg. Dan biasanya daging pesta dimakan hanya dalam sehari-dua hari.

2.    Pembantaian hewan-hewan dilaksanakan di pelataran kampung yang ditonton orang banyak termasuk anak-anak. Kerbau tidak diikat kaki tapi hanya tali pencocok hidung yang dililitkan pada kedua tanduk yang dipgang sebelah-menyebelah oleh dua orang, dan seorang eksekutor kampiun melakukan pembantaian. Sorang-sorai anak-anak menonton pergumulan hewan-hewan sebelum meregang nyawa. Jika ada 100 ekor kerbau yang dipotong, pelataran bisa penuh darah. Pembantaian sadis serta aliran darah yang menganaksungai ditonton dan direkam dalam memori anak-anak. Hemat saya secara psikologis tidak baik bagi anak-anak, tnetu juga orang dewasa. Karena mereka akan terbiasa menyaksikan sesuatu yang sadis dan hal ini akan berdampak buruk di mana membunuh sesama tidak ada bedanya dengan membunuh hewan.

( Ditulis oleh : Frans W. Hebi - Senang Menulis, Narasumber Tetap di Acara Bengkel Bahasa Radio Max FM Waingapu. Tulisan ini sudah pernah jadi bahan diskusi di radio Max FM Waingapu )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar